Senin, 17 Juni 2013
Ibnu Khaldun dan Ashobiyah
Seorang sarjana sosiologi dari Italia, Gumplowiez melalui penelitiannya yang cukup panjang, berpendapat, ”Kami ingin membuktikan bahwa sebelum Auguste Comte (1798-1857 M) dan Giovani Vico (1668-1744 M) telah datang seorang muslim yang tunduk pada ajaran agamanya. Dia telah mempelajari gejala-gejala sosial dengan akalnya yang cemerlang. Apa yang ditulisnya itulah yang kini disebut sosiologi.” Dia-lah Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan muslim yang lebih dekat pemikirannya dengan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi, telah memiliki bebarapa karya, dan salah satunya adalah buku yang berjudul “Muqaddimah”. Buku ini cukup banyak memberikan dasar bagi lahirnya disiplin sosiologi. Manusia, menurut Khaldun (dalam bukunya Muqaddimah), pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan mayarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Sebagai makhluk sosial, manusia memliki rasa solidaritas dengan kelompoknya. Solidaritas atau kohesi sosial ini yang disebut ashobiyah oleh Khaldun. Konsep ashobiyah ini juga sangat relevan dengan perubahan sosial masyarakat pada masa kini. Khaldun mamandang bahwa kohesi sosial atau ashobiyah masyarakat tradisional dan primitif atau Khaldun menyebutnya masyarakat Badui lebih kuat daripada masyarakat kota. Kondisi fisik tempat masyarakat Badui tinggal turut mempengaruhi kehidupan beragama mereka. Mayarakat Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang Kota dan hidup dengan meningglakan makanan yang mewah, memiliki tingkat ketakwaan yang lebih dibandingkan masyarakat Kota. Mereka juga lebih berani daripada penduduk kota karena penduduk Kota malas dan suka yang mudah-mudah serta larut dalam kenikmatan wal kemewahan. Hal ini yang menjadikan masyarakat Badui memiliki solidaritas sosial yang sanga kuat, sementara kehidupan masyarakat kota yang lebih bersifat individualis berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas sosial mereka. Namun, seiring berjalannya waktu kelompok Badui yang hidup serba terbatas, sederhana, tidak banyak menikmati kemewahan dan kesenagan menyebabkan mereka terdorong untuk memperbaiki hidup mereka dengan melakukan urbanisasi serta ekspansi ke masyarakat kota. Dengan solidaritas yang kuat, masyarakat Badui mampu mengalahkan dan menyingkirkan masyarakat Kota yang solidaritas sosialnya lemah. Orang Badui kemudian menjadi masyarakat kota yang hidup serba nikmat dan mewah yang menyebabkan mereka lupa akan pentingnya solidaritas sosial dan lebih bersifat idividualis. Akhirnya, orang-orang Badui yang sudah menjadi masyarakat Kota inipun bernasib sama seperti masyarakat Kota yang sebelumnya berhasil mereka taklukan. Perubahan sosial seperti inilah yang kini sering dialami masyarakat Indonesia. Ketika orang-orang desa yang memiliki tingkat ashobiyah kuat berpindah ke kota yang notabene tingkat ashobiyah-nya lemah, mereka (masyarakat desa) akan cenderung berubah menjadi lebih individualis dan mengabaikan solidaritas sosial yang sebelumnya mereka miliki secara kuat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar