Pendidikan dan Realitas Sosial
Oleh: Syaima Sabine Fassawa
Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan
diharapkan mampu mengoptimalkan potensi manusia serta mengarahkan manusia pada
kesadaran dan pemikiran kritis. Selaku lembaga yang berperan sebagai penggodok
generasi penerus, sekolah beserta sistem, kurikulum dan tetek bengeknya
hendaknya mampu memproduksi manusia yang kemudian dapat terjun kembali ke
masyarakat demi mewujudkan masyarakat sejahtera dalam peradaban yang lebih
baik. Hal ini selaras dengan pendapat Paulo Freire dalam pengantar redaksi di Sekolah Kapitalisme yang Licik; tanpa
mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, dunia pendidikan tinggi akan tetap
menjadi suatu komunitas yang terlepas dari persoalan masyarakat yang harus
menjadi keprihatinannya.
Namun, adalah bukan pemandangan baru
menyaksikan kaum terdidik bersikap abai pada kondisi sekitarnya. Seakan kaum
ini mengamini bahwa segala hal beserta
permasalahannya adalah sesuatu yang natural—tidak perlu dikritisi apalagi
ditindaklanjuti. Banyak terlihat peserta didik selaku kaum terdidik yang tidak
menunjukkan altruismenya. Justru cenderung bersikap pasrah pada kondisi
sekitarnya. Kalau meminjam istilah Romo Mangunwijaya, hal ini terjadi
dikarenakan pendidikan saat ini masih berpihak pada regulation, bukan liberation.
Regulation yakni mengedepankan
tradisi priest (imam) yang mana
berfokus pada formalitas dan legalitas hukum. Sedangkan liberation mengedepankan tradisi prophet (nabi) yang mengutamakan eksplorasi, partisipasi publik
sekaligus amanat hati nurani. Prioritas pada cara-cara regulation berujung pada politisasi praksis pendidikan untuk
tujuan-tujuan pragmatis berjangka pendek. Alangkah baiknya apabila ilmu
pengetahuan baik yang teknis, praktis dan emansipatoris, menurut klasifikasi
Jurgen Habermas (filsuf dan sosiolog Jerman) itu, dipraktikkan secara
proporsional.
Namun, inilah yang terjadi: peserta didik
terfokus pada ilmu pengetahuan yang teknis dan praktis, bukan emansipatoris.
Praktik yang timpang macam inilah yang membuat minimnya produksi atensi pada
realitas sosial bagi peserta didik. Padahal, ilmu pengetahuan emansipatorislah
yang berbasis realitas—yang merupakan dasar bagi lahirnya kesadaran-kesadaran
kritis. Pendidikan emansipatoris adalah awal dari perubahan konkrit yang
membawa kebaikan bagi seluruh pihak.
Ditambah lagi dengan metode pendidikan
kita yang diam-diam mematikan. Salah satunya yakni pendidikan gaya bank, kata
Freire, adalah pendidikan yang menempatkan guru sebagai subjek dan murid
sebagai objek. Guru adalah sumber pengetahuan mutlak yang mendominasi kelas
sekaligus memperlakukan murid sebagai sesuatu yang tugasnya hanya menerima dan
diperintah. Ruang bagi murid untuk berekspresi, mengemukakan pendapat, atau
berargumen sangatlah minim. Padahal dalam ranah ini semestinya terjadi
pertukaran ilmu pengetahuan, bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan. Tidak
jarang diperparah dengan sikap guru yang antikritik, semakin membuat murid
menjadi pasif. Hal ini bukan tidak berdampak besar. Sadar atau tidak, praktik
seperti ini berkontribusi dalam mematikan kreativitas dan gagasan-gagasan besar
si murid.
Hal ini berujung pada sekolah dengan
orientasi nilai (hasil akhir) yang lebih dikedepankan dan menjadi tujuan
ketimbang pada prosesnya. Apreasiasi terhadap proses sangatlah kecil. Praktik
seperti ini sedikit demi sedikit membangun pola pikir yang cukup egois, baik
bagi diri sendiri maupun masyarakat sekitarnya. Minimnya keterbukaan diri
terhadap diri sendiri justru membuat diri tersebut kesulitan mengenali potensi
dan kemampuan yang dipunyainya, apalagi untuk mengembangkannya. Kemudian selaku
kaum terdidik, semestinya sadar bahwa yang ada di sekitarnya adalah juga
tanggung jawabnya. Adalah mengkhianati nalar intelektual diri sendiri apabila
menganggap permasalahan yang ada di sekitar sebagai kejadian natural.
Praktik masal ini menjadi sebab lestarinya
budaya instan dalam masyarakat, pula dengan populernya jalan pintas sebagai
alternatif utama dalam berbagai keadaan tertentu. Praktik pendidikan semestinya
menjunjung tinggi emansipasi yang selaras dengan tujuan persamaan hak dan
kewajiban dalam masyarakat demi mewujudkan lingkungan dan masyarakat yang lebih
baik. Dalam pencapaian progres ini diperlukan intervensi kritis, dan di sinilah
peran utama pendidikan dibutuhkan. Pendidikan semestinya membawa manusia pada keterbukaan,
kesadaran dan kebebasan; antifeodalisme, antiimperialisme, antikapitalisme, dan
menjunjung kesetaraan. Beginilah cita-cita Ki Hajar Dewantara dapat terwujud;
membentuk pendidikan yang memanusiakan manusia.
Pendidikan yang tekstual perlu diubah menjadi
pendidikan yang melek terhadap realitas sosial. Sistem dan kurikulum semestinya
bersinggungan dengan kondisi nyata. Sebab, kembali lagi pada esensi tujuan
pendidikan itu sendiri, yakni sebagai institusi yang memiliki peran
dan fungsi mendidik, semestinya mampu mengarahkan peserta didik menuju
pencerdasan untuk mewujudkan perubahan
konkrit yang membawa kebaikan bagi masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar