Selasa, 26 Juni 2018

Pendidikan dan Realitas Sosial


Pendidikan dan Realitas Sosial
Oleh: Syaima Sabine Fassawa



Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan diharapkan mampu mengoptimalkan potensi manusia serta mengarahkan manusia pada kesadaran dan pemikiran kritis. Selaku lembaga yang berperan sebagai penggodok generasi penerus, sekolah beserta sistem, kurikulum dan tetek bengeknya hendaknya mampu memproduksi manusia yang kemudian dapat terjun kembali ke masyarakat demi mewujudkan masyarakat sejahtera dalam peradaban yang lebih baik. Hal ini selaras dengan pendapat Paulo Freire dalam pengantar redaksi di Sekolah Kapitalisme yang Licik; tanpa mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, dunia pendidikan tinggi akan tetap menjadi suatu komunitas yang terlepas dari persoalan masyarakat yang harus menjadi keprihatinannya.
Namun, adalah bukan pemandangan baru menyaksikan kaum terdidik bersikap abai pada kondisi sekitarnya. Seakan kaum ini mengamini  bahwa segala hal beserta permasalahannya adalah sesuatu yang natural—tidak perlu dikritisi apalagi ditindaklanjuti. Banyak terlihat peserta didik selaku kaum terdidik yang tidak menunjukkan altruismenya. Justru cenderung bersikap pasrah pada kondisi sekitarnya. Kalau meminjam istilah Romo Mangunwijaya, hal ini terjadi dikarenakan pendidikan saat ini masih berpihak pada regulation, bukan liberation. Regulation yakni mengedepankan tradisi priest (imam) yang mana berfokus pada formalitas dan legalitas hukum. Sedangkan liberation mengedepankan tradisi prophet (nabi) yang mengutamakan eksplorasi, partisipasi publik sekaligus amanat hati nurani. Prioritas pada cara-cara regulation berujung pada politisasi praksis pendidikan untuk tujuan-tujuan pragmatis berjangka pendek. Alangkah baiknya apabila ilmu pengetahuan baik yang teknis, praktis dan emansipatoris, menurut klasifikasi Jurgen Habermas (filsuf dan sosiolog Jerman) itu, dipraktikkan secara proporsional.
Namun, inilah yang terjadi: peserta didik terfokus pada ilmu pengetahuan yang teknis dan praktis, bukan emansipatoris. Praktik yang timpang macam inilah yang membuat minimnya produksi atensi pada realitas sosial bagi peserta didik. Padahal, ilmu pengetahuan emansipatorislah yang berbasis realitas—yang merupakan dasar bagi lahirnya kesadaran-kesadaran kritis. Pendidikan emansipatoris adalah awal dari perubahan konkrit yang membawa kebaikan bagi seluruh pihak.
Ditambah lagi dengan metode pendidikan kita yang diam-diam mematikan. Salah satunya yakni pendidikan gaya bank, kata Freire, adalah pendidikan yang menempatkan guru sebagai subjek dan murid sebagai objek. Guru adalah sumber pengetahuan mutlak yang mendominasi kelas sekaligus memperlakukan murid sebagai sesuatu yang tugasnya hanya menerima dan diperintah. Ruang bagi murid untuk berekspresi, mengemukakan pendapat, atau berargumen sangatlah minim. Padahal dalam ranah ini semestinya terjadi pertukaran ilmu pengetahuan, bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan. Tidak jarang diperparah dengan sikap guru yang antikritik, semakin membuat murid menjadi pasif. Hal ini bukan tidak berdampak besar. Sadar atau tidak, praktik seperti ini berkontribusi dalam mematikan kreativitas dan gagasan-gagasan besar si murid.
Hal ini berujung pada sekolah dengan orientasi nilai (hasil akhir) yang lebih dikedepankan dan menjadi tujuan ketimbang pada prosesnya. Apreasiasi terhadap proses sangatlah kecil. Praktik seperti ini sedikit demi sedikit membangun pola pikir yang cukup egois, baik bagi diri sendiri maupun masyarakat sekitarnya. Minimnya keterbukaan diri terhadap diri sendiri justru membuat diri tersebut kesulitan mengenali potensi dan kemampuan yang dipunyainya, apalagi untuk mengembangkannya. Kemudian selaku kaum terdidik, semestinya sadar bahwa yang ada di sekitarnya adalah juga tanggung jawabnya. Adalah mengkhianati nalar intelektual diri sendiri apabila menganggap permasalahan yang ada di sekitar sebagai kejadian natural.
Praktik masal ini menjadi sebab lestarinya budaya instan dalam masyarakat, pula dengan populernya jalan pintas sebagai alternatif utama dalam berbagai keadaan tertentu. Praktik pendidikan semestinya menjunjung tinggi emansipasi yang selaras dengan tujuan persamaan hak dan kewajiban dalam masyarakat demi mewujudkan lingkungan dan masyarakat yang lebih baik. Dalam pencapaian progres ini diperlukan intervensi kritis, dan di sinilah peran utama pendidikan dibutuhkan. Pendidikan semestinya membawa manusia pada keterbukaan, kesadaran dan kebebasan; antifeodalisme, antiimperialisme, antikapitalisme, dan menjunjung kesetaraan. Beginilah cita-cita Ki Hajar Dewantara dapat terwujud; membentuk pendidikan yang memanusiakan manusia.
Pendidikan yang tekstual perlu diubah menjadi pendidikan yang melek terhadap realitas sosial. Sistem dan kurikulum semestinya bersinggungan dengan kondisi nyata. Sebab, kembali lagi pada esensi tujuan pendidikan itu sendiri, yakni sebagai institusi yang memiliki peran dan fungsi mendidik, semestinya mampu mengarahkan peserta didik menuju pencerdasan untuk mewujudkan perubahan konkrit yang membawa kebaikan bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar