Rabu, 09 Juni 2021

Fenomena: Meningkatnya Angka Pernikahan Anak Selama Pembelajaran Daring

 Meningkatnya Angka Pernikahan Anak Selama Pembelajaran Daring

Ibu Rofiqoh Widiastuti, S.Sos., MPH

Staff Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Perlindungan anak Kota Yogyakarta

Perkawinan Anak di DIY selama 3 tahun terakhir sejak 2018 sampai 2020 naik secara signifikan. DIY memiliki faktor yang berbeda dengan daerah lain. Jika ditempat lain ada faktor dominan soal ekonomi atau budaya, maka di DIY selama 3 tahun terakhir sejak 2018, faktor dominan adalah karena Kehamilah Tidak Dikehendaki (KTD). Kondisi ini tidak boleh hanya melihat bahwa anak-anak yang terjebak dalam perkawinan anak ini berarti adalah anak –anak bermasalah.  Barangkali anak-anak korban dari sistem dan pola asuh yang semestinya melihat pada konteks jaman yang berubah. Tentu saja tanpa melepaskan nilai-nilai utama yang terus dipegang.

Maka ada pekerjaan besar untuk melihat akar persoalan KTD ini. Ada persoalan ketiadaan informasi kesehatan reproduksi yang harus disampaikan kepada remaja. Ada juga hubungan yang cukup erat bagaimana isu gender berperan besar melatarbelakangi isu ini. Satu hal lagi adanya perkembangan internet dan media sosial yang harus direspon sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan remaja saat ini. Sedikit remaja yang tidak berinteraksi menggunakan gadget yang menyita banyak waktu.

Kementerian Agama mengeluarkan data angka pernikahan di DIY ini pada tahun 2020 sebesar 897 kasus di DIY. Dari kajian yang kami lakukan (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk) menemukan angka yang tidak jauh berbeda. Dari jumlah itu, Sebagian besar alasannya adalah karena Kehamilan yang Tidak Dikehendaki (KTD). Alasan lain adalah kemauan orang tua dan ada yang alasan agama. Sampai disini kajian yang kami lakukan pada tahun 2021 ini menemukan bahwa ada faktor terkait gender dan faktor situasional yang menyebabkan remaja terlibat
perilaku seksual berisiko.

Kajian ini menemukan bahwa remaja laki-laki yang melihat hubungan seksual dengan pacar lebih sebagai petualangan atau pemenuhan rasa ingin tahunya yang besar, dan juga sebagai strategi penaklukan identik dengan sexual intercouse. Fenomena ini sering disebut sebagai male sexual entitlement, yaitu citra laki-laki sebagai sosok maskulin yang memiliki kebutuhan seks yang kuat dan selalu membutuhkan layanan seks dari perempuan.  Sementara bagi remaja perempuan hubungan seksual yang ia lakukan dengan pacarnya dilihat sebagai ekpresi rasa sayang atau tanda cinta sekaligus pengorbanan. Cara pandang remaja perempuan dalam menyikapi hubungan pacaran dan hubungan seks ini berakar dari norma gender feminin yang mengagungkan afeksi, kehangatan, kesetiaan, kepasifan, ketergantungan, dan pengasuhan. Maka banyak remaja perempuan yang tidak bisa menolak situasi ini.

Disisi lain, ada faktor situasional yang meningkatkan risiko KTD ini. Masyarakat menganggap seksualitas sebagai hal  memalukan dan negatif. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas harus dibatasi atau bahkan dilarang. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa pendidikan seks atau informasi tentang hak reproduksi dapat menyebabkan remaja melakukan seks bebas. Akibatnya, akses informasi kesehatan dan program pendidikan seks menjadi terbatas terutama bagi kaum muda. Pandangan ini yang harus diluruskan karena bicara kesehatan reproduksi tidak berarti mengajarkan seks bebas.

Ada banyak muatan informasi yang harus diketahui remaja dimana tidak cukup disampaikan hanya lewat pelajaran biologi atau sejenisnya. Karena jika kita bicara kesehatan reproduksi, maka kita mengacu pada pengertian sesuai Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

Hal ini membuat orang tua hampir tidak pernah berkomunikasi dengan anak-anaknya terkait pubertas atau dorongan seksual pada remaja. Lalu kemana anak harus bertanya? Kepada temannya yang mungkin sama-sama tidak tahu atau sedang mencari tahu. Lalu, bisa jadi mencari informasi melalui internet. Sayangnya sumbernya seringkali tidak valid dan bahkan menjerumuskan. Jika sudah terjadi KTD, maka orang tua melihat perkawinan anak sebagai satu satunya cara untuk menyelamatkan kehormatan keluarga.

Menjadi orang tua itu adalah proses belajar yang tak pernah berhenti. Maka penting untuk membekali diri bagaimana berkomunikasi dengan anak remaja terkait mengelola dorongan seksual pada masa pubertas. Menjadi teman dan tempat bertanya bagi anak-anak tanpa harus menghakimi. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan perlindungan pada anak. Tak hanya mencegah terjadinya perkawinan anak. Upaya preventif yang kami lakukan salah satunya adalah pengembangan metode pendidikan kesehatan reproduksi berbasis keluarga. Secara praktik, ada gap antara orang tua dan anak terkait dengan isu perkawinan anak. Maka perlu ada pendekatan/intervensi yang dapat mengatasi gap tersebut.

Selain itu pada remaja, akan dilakukan pengembangan metode pendidikan kesehatan reproduksi yang relevan pada kelompok anak remaja saat ini. Perlunya pembentukan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) berbasis sekolah, kampus maupun komunitas sebagai upaya memberikan informasi Kesehatan reproduksi pada remaja. Tidak hanya kampanye dan edukasi melalui lagu, media sosial dan lainnya. Kami juga sedang berupaya terbentuk satuan tugas pencegahan perkawinan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar