Meningkatnya Angka Pernikahan Anak Selama Pembelajaran Daring
Ibu Rofiqoh Widiastuti, S.Sos., MPH
Staff Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Perlindungan anak Kota Yogyakarta
Perkawinan
Anak di DIY selama 3 tahun terakhir sejak 2018 sampai 2020 naik secara
signifikan. DIY memiliki faktor yang berbeda dengan daerah lain. Jika ditempat
lain ada faktor dominan soal ekonomi atau budaya, maka di DIY selama 3 tahun
terakhir sejak 2018, faktor dominan adalah karena Kehamilah Tidak Dikehendaki (KTD). Kondisi ini tidak boleh
hanya melihat bahwa anak-anak yang terjebak dalam perkawinan anak ini berarti
adalah anak –anak bermasalah. Barangkali
anak-anak korban dari sistem dan pola asuh yang semestinya melihat pada konteks
jaman yang berubah. Tentu saja tanpa melepaskan nilai-nilai utama yang terus
dipegang.
Maka ada pekerjaan besar untuk melihat akar persoalan KTD ini. Ada persoalan ketiadaan informasi kesehatan reproduksi yang harus disampaikan kepada remaja. Ada juga hubungan yang cukup erat bagaimana isu gender berperan besar melatarbelakangi isu ini. Satu hal lagi adanya perkembangan internet dan media sosial yang harus direspon sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan remaja saat ini. Sedikit remaja yang tidak berinteraksi menggunakan gadget yang menyita banyak waktu.
Kementerian
Agama mengeluarkan data angka pernikahan di DIY ini pada tahun 2020 sebesar 897
kasus di DIY. Dari kajian yang kami lakukan (Dinas Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk) menemukan angka yang tidak jauh
berbeda. Dari jumlah itu, Sebagian besar alasannya adalah karena Kehamilan yang
Tidak Dikehendaki (KTD). Alasan lain adalah kemauan orang tua dan ada yang
alasan agama. Sampai disini kajian yang kami lakukan pada tahun 2021 ini
menemukan bahwa ada faktor terkait gender
dan faktor situasional yang menyebabkan remaja terlibat
perilaku seksual berisiko.
Kajian ini
menemukan bahwa remaja laki-laki yang melihat hubungan seksual dengan pacar
lebih sebagai petualangan atau pemenuhan rasa ingin tahunya yang besar, dan
juga sebagai strategi penaklukan identik dengan sexual intercouse. Fenomena ini sering disebut sebagai male sexual entitlement, yaitu citra
laki-laki sebagai sosok maskulin yang memiliki kebutuhan seks yang kuat dan
selalu membutuhkan layanan seks dari perempuan. Sementara bagi remaja perempuan hubungan
seksual yang ia lakukan dengan pacarnya dilihat sebagai ekpresi rasa sayang
atau tanda cinta sekaligus pengorbanan. Cara pandang remaja perempuan dalam
menyikapi hubungan pacaran dan hubungan seks ini berakar dari norma gender feminin yang mengagungkan afeksi,
kehangatan, kesetiaan, kepasifan, ketergantungan, dan pengasuhan. Maka banyak
remaja perempuan yang tidak bisa menolak situasi ini.
Disisi lain,
ada faktor situasional yang meningkatkan risiko KTD ini. Masyarakat menganggap
seksualitas sebagai hal memalukan dan
negatif. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas harus
dibatasi atau bahkan dilarang. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa pendidikan
seks atau informasi tentang hak reproduksi dapat menyebabkan remaja melakukan
seks bebas. Akibatnya, akses informasi kesehatan dan program pendidikan seks
menjadi terbatas terutama bagi kaum muda. Pandangan ini yang harus diluruskan
karena bicara kesehatan reproduksi tidak berarti mengajarkan seks bebas.
Ada banyak muatan
informasi yang harus diketahui remaja dimana tidak cukup disampaikan hanya
lewat pelajaran biologi atau sejenisnya. Karena jika kita bicara kesehatan
reproduksi, maka kita mengacu pada pengertian sesuai Undang-Undang RI Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara
fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit
atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada
laki-laki dan perempuan.
Hal ini membuat orang tua hampir tidak pernah berkomunikasi dengan anak-anaknya terkait pubertas atau dorongan seksual pada remaja. Lalu kemana anak harus bertanya? Kepada temannya yang mungkin sama-sama tidak tahu atau sedang mencari tahu. Lalu, bisa jadi mencari informasi melalui internet. Sayangnya sumbernya seringkali tidak valid dan bahkan menjerumuskan. Jika sudah terjadi KTD, maka orang tua melihat perkawinan anak sebagai satu satunya cara untuk menyelamatkan kehormatan keluarga.
Menjadi
orang tua itu adalah proses belajar yang tak pernah berhenti. Maka penting
untuk membekali diri bagaimana berkomunikasi dengan anak remaja terkait
mengelola dorongan seksual pada masa pubertas. Menjadi teman dan tempat
bertanya bagi anak-anak tanpa harus menghakimi. Pemerintah juga memiliki
tanggung jawab untuk melakukan perlindungan pada anak. Tak hanya mencegah
terjadinya perkawinan anak. Upaya preventif
yang kami lakukan salah satunya adalah pengembangan metode pendidikan kesehatan
reproduksi berbasis keluarga. Secara praktik, ada gap antara orang tua dan anak
terkait dengan isu perkawinan anak. Maka perlu ada pendekatan/intervensi yang dapat mengatasi gap
tersebut.
Selain itu pada remaja, akan dilakukan pengembangan metode pendidikan kesehatan reproduksi yang relevan pada kelompok anak remaja saat ini. Perlunya pembentukan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIKR) berbasis sekolah, kampus maupun komunitas sebagai upaya memberikan informasi Kesehatan reproduksi pada remaja. Tidak hanya kampanye dan edukasi melalui lagu, media sosial dan lainnya. Kami juga sedang berupaya terbentuk satuan tugas pencegahan perkawinan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar