Kamis, 06 Juni 2013

Etnografi Kejahatan Indonesia: Relativisme Kultural sebagai Modal dalam Memandang Relativisme Kejahatan.


Jelaskan apa yang menjadi Obyek Kajian Etnografi Kejahatan di Indonesia! Tunjukkan relevansinya dengan Kriminologi dan apa manfaatnya bagi Anda mengkaji masalah tersebut!
Berdasarkan pengertian etimologisnya, kata ‘etnografi’ berasal dari ‘ethnos’ yang berarti suku-bangsa atau masyarakat, dan ‘graphos’ yang berarti tulisan atau kisah. Pengertian etnografi sendiri dapat dijelaskan sebagai sebuah disiplin ilmu yang mencoba untuk memahami fenomena budaya yang mencerminkan pengetahuan dan sistem nilai yang membangun satu kehidupan sebuah kelompok unik tertentu (Geertz, 1973; Philipsen, 1992).).
Berangkat dari pengertian kata ‘etnogrfi’ itu, secara sederhana, etnografi kejahatan merupakan satu disiplin ilmu yang mengkaji tentang fenomena kejahatan di berbagai daerah di Indonesia, yang bentuk-bentuknya dipengaruhi oleh faktor budaya atau tradisi etnis tertentu di daerah-daerah tersebut. Obyek kajiannya ialah perilaku atau tindakan yang membudaya dalam kelompok budaya tertentu yang kemudian dianggap menyimpang oleh kebudayaan dominan, atau tindakan yang seringkali bertentangan dengan tatanan nilai dan norma masyarakat umum di luar kelompok budaya tersebut.
Mempelajari etnografi memiliki relevansi yang signifikan dalam kriminologi. Hal ini disebabkan banyak dari tingkah laku dan perilaku dari kelompok budaya tertentu yang sering dianggap sebagai tingkah laku di luar norma (norma budaya dominan) sehingga disebut sebagai penyimpangan dan kejahatan. Tidak jarang, tingkah laku ini berujung pada penghilangan nyawa atau pengrusakan properti. Tanpa memahami lebih jauh dari tradisi satu kelompok budaya, para kriminolog akan terjebak pada titik ‘kacamata kuda’ dalam mengkaji fenomena kejahatan dan penyimpangan di masyarakat.
Dalam memahami perilaku atau tindakan tersebut, seorang kriminolog budaya, dengan kajian etnografi kejahatannya, berusaha mencoba mempelajari secara mendalam tentang tradisi dan nilai-nilai tertentu yang dipahami oleh kelompok budaya tersebut dan mencoba menemukan jawaban mengapa mereka melakukan perilaku atau tindakan itu. Sebagaimana halnya dengan kerangka kerja disiplin ilmu etnografi itu sendiri, yakni mengumpulkan data empirik pada masyarakat dalam kelompok budaya tertentu, yang bertujuan untuk memberikan gambaran sifat dasar atau watak dari subjek-subjek yang diteliti, melalui penjabaran dalam tulisan (Maynard & Purvis, 1994), etnografi kejahatan juga melakukan hal yang sama untuk menelusuri pola tingkah laku yang membudaya pada kelompok masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dilakukan untuk memahami lebih jauh mengapa tindakan itu ada dan tidak dianggap menyimpang oleh kelompoknya, dengan melihatnya dari sudut pandang kelompok tersebut. Pemahaman holistik yang kita miliki terhadap sistem nilai dan tradisi suatu budaya tertentu tersebut akan memberikan manfaat kepada kita, kau akademisi, untuk menemukan cara pencegahan atau pengurangan dan pengendalian sosial kejahatan yang selaras dengan sistem budaya dan etnis atau kelompok budaya tertentu tersebut.
Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang Cultural Ethnocentrism dan Cultural Relativism serta Realtivisme Kejahatan. Gunakan contoh untuk memperjelas jawaban Anda!
Cultural ethnocentrism atau etnosentrisme budaya merupakan satu pandangan yang melihat bahwa kelompok etnis tertentu adalah lebih unggul dibandingkan kelompok etnis lainnya. Subjek yang memiliki paham etnosentris selalu melakukan penilaian atau pertimbangan satu nilai budaya tertentu dengan melihatnya berdasarkan sudut pandang nilai budaya yang dimilikinya sendiri (Omohundro, 2008).
Sementara itu, cultural relativism adalah sebuah konsep atau asas yang dirumuskan oleh seorang antropolog Franz Boas (1858 – 1942) di awal abad ke-20 yang berusaha untuk menciptakan disiplin ilmu budaya yang tidak etnosentris terhadap kelompok budaya yang berbeda-beda. Cultural relativism atau relativisme budaya merupakan satu konsep atau paham yang melihat kepercayaan dan aktivitas individual sebagai sesuatu yang dipahami oleh orang-orang lain dalam sudut pandang kebudayaan individu tersebut. Boas berpendapat bahwa kebudayaan atau peradaban tidak bersifat absolute, melainkan relatif sehingga gagasan dan konsepsi yang kita yakini hanya dapat dikatakan benak jika dilihat dari kebudayaan kita sendiri, dan belum tentu benar jika dilihat dari perspektif kebudayaan orang lain (Boas, 1887: 589).
Relativisme kejahatan merupakan satu konsep yang digunakan dalam kriminologi untuk memahami kejahatan tidak berdasarkan satu sudut pandang. Kemal Dermawan (2005) menjelaskan bahwa dalam mempelajari kejahatan, kita harus memiliki pengetahuan tentang batasan dan kondisi kejahatan di dalam kelompok masyarakat yang bersifat relatif. Hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti misalnya ketertinggalah hukum karena perubahan nilai sosial atau perkembangan perilaku masyarakat. Perbedaan cara dan pendekatan juga menjadi pertimbangan, apakah secara legal (hukum) atau secara moral (Kemal Dermawan, 2005).
Hal ini bisa kita lihat pada contoh fenomena Siri’ sebagai perilaku yang membudaya di kelompok masyarakat Bugis. Bagi masyarakat umum, perilaku yang terlihat pada aksi siri’ yang dapat berujung pada tindakan kekerasan seringkali dianggap salah dan menyimpang, bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM). Namun demikian, hal itu dianggap wajar oleh masyarakat Bugis sendiri, karena ada ajaran keyakinan di dalam tradisi mereka untuk mempertahankan harga diri. Perbedaan tatanan nilai dalam kelompok budaya ini harus menjadi satu pertimbangan yang menjadi perhatiak studi etnografi kejahatan yang melihat bahwa kejahatan tersebut bersifar relatif.
Contoh lainnya ialah tentang hak kepemilikan. Dahulu, hak kepemilikan diatur oleh ketentuan dan peraturan legal (Undang-Undang) setiap negara, bahwa menggunakan nilai barang atau karya yang memiliki nilai hak kepemilikan tanpa ijin pemiliknya dianggap sebagai pelanggaran. Namun demikian, hal tersebut menjadi bias pada jaman sekarang dengan berkembangnya teknologi internet. Terutama di Indonesia, rumusan hukum kita belum memiliki ketentuan yang detail tentang hal ini, disebabkan oleh perkembangan teknologi canggih itu yang melebihi kecepatan perkembangan sistem hukum di Indonesia.
Jelaskan apa yang Anda ketahui tentang Conflict of Conduct Norm. Gunakan contoh untuk memperjelas jawaban Anda!
Conduct norm merupakan sebuah konsep yang menjelaskan bahwa sebuah kelompok tertentu yang membangun sebuah budaya atau perilaku dan tingkah laku unik dalam memberi tanggapan terhadap tegangan sosial (Sellin, 1938). Kelompok budaya ini mempertahankan atau memelihara sebuah perilaku norma yang berlaku dalam kelompok mereka yang mengatur kondisi kehidupan sehari-hari mereka di dalam lingkungan kelompok tersebut (Siegel, 2010).
Berbeda dengan hukum pidana yang berisikan ketentuan norma kejahatan yang mencerminkan nilai-nilai kelompok yang dominan yang mengontrol perilaku melalui proses legislatif, conduct norm lebih mencerminkan nilai sosial budaya yang lain, yang melekat pada kelompok tertentu, dan biasanya bertentangan dengan norma-norma dominan yang mengatur. Oleh karena itu, conflict of conduct norm atau konflik perilaku norma itu muncul sebagai hasil dari proses diferensiasi kelompok dalam sistem budaya. Sellin menjelaskan bahwa jika satu norma hukum dari satu kelompok merasuk atau menyebar ke dalam daerah yang sebelumnya tidak menyadari atau mengenal norma hukum tersebut, hal itu akan menimbulkan kebingungan dan pelanggaran norma-norma oleh individu atau masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Contohnya, seperti yang dijelaskan oleh Jana Arsovska and Philippe Verduyn (2007: 226-246), tatanan kehidupan modern yang tumbuh di wilayah Barat melihat bahwa tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun dianggap sebagai tingkah laku yang immoral. Dalam konsepsi modernitas, sistem peradilan pidana memiliki otoritas untuk mengadili penjahat sehingga, secara terbuka dan diyakini oleh umum, masyarakat mengakui dan mengamini keinginan untuk menghukum berat seseorang yang telah melakukan tindakan yang diluar norma hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal yang bertentangan terjadi pada masyarakat Albania, yang memiliki tradisi adat tertentu, yakni Kanun of Lek Dukagjini, yang memiliki pemahaman bahwa adanya kesediaan untuk menggunakan kekerasan dan pemutusan keadilan ke diri sendiri, yang oleh hukum dianggap sebagai penyimpangan (Arsovska & Verduyn, 2008: 228).
Contoh lainnya adalah adat yang membudaya di wilayah tertentu di Papua. Bagi masyarakat di sana, terdapat satu tradisi bahwa seorang laki-laki akan memperkosa perempuan yang menarik hatinya sebanyak beberapa kali sebagai tanda untuk melamar. Dalam sudup pandang hukum pidana di Indonesia, perilaku tersebut dianggap menyimpang. Persebaran ketentuan hukum pidana Indonesia di wilayah yang telah memiliki adat istiadat yang mengakar ini terkadang memunculkan satu kebingungan dan berujung pada konflik norma perilaku tersebut.
Jelaskan fenomena Conflict of Conduct Norm dalam kasus Carok (Madura) dan kasus Seks Bebas di Gunung Kemukus!
Pada kasus Carok (Madura), ada dua aspek yang dapat dilihat terkait dengan konflik perilaku normanya (conflict of conduct norm). Pertama, konflik terhadap hukum pidana. Kedua, konflik terhadap norma masyarakat setempat (Dayak).
Misalnya saja, dalah Pasal 338 KUHP, yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan,dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Hal ini menegaskan bahwa tindakan menghilangkan nyawa seseorang merupakan satu tindakan yang melanggar norma hukum. Namun, bagi masyarakat Madura, Carok merupakan satu identitas  khas yang tidak dapat terlepaskan dalam kehidupan bertradisinya. Bagi mereka, carok adalah sebuah pembelaan harga diri yang direndahkan oleh orang lain. Carok menjadi penting untuk menjunjung tinggi kehormatannya mereka sebagai manusia. Hal ini sejalan dengan filosofi mereka, etambang pote mata lebih bagus pote tolang (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi Carok. (Mien, 2007). Penuntasan sebuah masalah dengan cara Carok dilakukan untuk mendapatkan rasa lega, puas dan kembalinya rasa kebanggaan (A. Latief, 2002).
Tradisi Carok ini sudah ada sejak dahulu, sebelum hukum pidana resmi digunakan sebagai hukum positif di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka yang kemudian mengadopsi hukum warisan Belanda menjadi Hukum Pidana, dan ketika jaman Orde Baru memberlakukan transmigrasi, fenomena Carok berubah menjadi satu penyimpangan karena berbenturan dengan hukum nasional yang berlaku.
Kedua, tradisi Carok mengalami konflik bagi masyarakat Dayak sendiri, yang juga memiliki adat yang berbeda. Norma masyarakat setempat tidak selaras dengan norma yang dibawa oleh masyarakat Madura. Kaum Dayak memahami tanah kelahiran sebagau tanah ulayat (tanah leluhur) yang tidak boleh dieksploitasi, sedangkan masyarakat Madura percaya bahwa di mana bumi dipijak, di sana lah sumber daya bisa dimanfaatkan. Kesuksesan masyarakat Madura dalam ranah lapangan pekerjaan memunculkan kecemburuan sosial sehingga berhujung konflik dan terjadinya tindakak kekerasan (perang antar suku bangsa).
Sementara itu, pada kasus Seks Bebas di Gunung Kemukus, hal ini juga bertentangan dengan norma agama Islam yang mayoritas dianut oleh masyarakat setempat. Dalam hukum Islam, seks bebas dianggap sebagai tindakan zinah yang berdosa. Namun, jika kita lihat lagi, masyarakat setempat juga memiliki keyakinan bahwa untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan ketika berziaran ke makam Pangeran Samudro di Gunung itu, mereka harus melakukan semacam ritual berupa seks bebas. Pada perkembangannya, hal ini berubah menjadi tindakan penyimpang yang sering disalahgunakan oleh perempuan masyarakat untuk mencari keuntungan. Oleh karenanya, bisnis prostitusi tidak dapat dihindarkan. Dalam hal ini, norma agama (hukum Islam) merupakan hukum yang dominan, sedangkan pemahaman masyarakat setempat merupakan norma unik yang dianut oleh kelompok tertentu.

Selasa, 04 Juni 2013

Futsal Dilogi, Menjunjung Tinggi Spotivitas



Dalam rangka menyambut ulang tahun Hima Dilogi tanggal 24 Mei besok,  divisi Krisma telah menyiapkan serangkaian acara, salah satunya yaitu pertandingan futsal antar angkatan. Futsal di lakukan pada 19 Mei 2013, peserta dari angkatan 2010 sampai 2012. Tidak hanya untuk laki-laki saja, wanitapun diharuskan mengirimkan tim futsal perkelas. Acara dimulai pukul 09.00 WIB dan selesai pukul 14.00 WIB. Pertandingan futsal tahun ini dimenangkan oleh angkatan 2010 byang berhasil merebut gelar juara untuk tim futsal laki-laki dan perempuan. Acara berlangsung dengan baik dan lancar, meskipun terjadi sedikit keterlambatan waktu, harusnya futsal selesai maksimal pukul 13.00 WIB, meski demikian itu merupakan hal yang wajar, tutur Anisa selaku ketua panitia Hut Hima. Anisa mengatakan, “Acara berjalan dengan meriah, karena banyak yang berpartisipasi baik sebagai  peserta maupun suporter. Kendala, ada beberapa panitia yang tidak hadir, tapi saya sangat mengapresiasikan teman-teman karena pertandingan futsal sangat sportif.” Hal senada juga disampaikan oleh Arif peserta futsal yang tim nya berhasil meraih juara, “menurut saya sangat berkesan, karena pertandingan futsal ini dapat menyatukan anak-anak Sosiologi dari beberapa angkatan, selain itu dapat memperkuat kerjasama satu tim, acaranya seru karena perempuan juga ikut bermain futsal, sistem juga sudah bagus dan sportivitas teman-teman sangat tinggi. Sedangkan menurut Dewi, salah satu supporter, “untuk kedepannya pertandingan futsal kalo bisa dari semua angkatan Sosiologi, tidak hanya 3 angkatan saja, supaya lebih meriah.”
Dari awal hingga akhir pertandingan futsal berjalan dengan lancar, suara supporter dari masing-masing tim sangat ramai, mereka tidak ingin saling mengalah. Terutama ketika tim futsal perempuan yang bermain, suara penonton semakin ramai. Pertandingan futsal tersebut, sebagai ajang untuk saling menganal antar kelas dan antar angkatan. Serta untuk memperkuat kekompakan satu kelas baik itu sebagai pemain atau supporter. Semoga kedepannya acara-acara perayaan Hut Hima lebih meriah lagi, pertandingan apapun harus tetap menjunjung tinggi sportivitas.

Spirit Sosiologi!!!

Minggu, 02 Juni 2013

Jangan Berpersepsi Sebelum Mengetahui

 
Pondok waria. Nampaknya hal itu masih tabu di telinga kita, tapi itulah yang ada di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Ponpes ini adalah satu-satunya ponpes khusus waria di Indonesia. Ponpes ini juga sudah dikenal sampai tingkat dunia. Popes waria Al-Fattah didirikan sejak tahun 2008 atas ide dari Bpk. KH. Hamroli Harun. Motivasi beliau untuk mendirikan ponpes ini adalah, agar kaum waria bisa diterima di masyarakat luas, karena bagaimanapun juga mereka juga manusia biasa yang membutuhkan interaksi dengan orang lain. Menurut ibu Maryani, selaku pengasuh ponpes waria menjelaskan bahwa “waria bukanlah pilihan, tapi kodrat. Waria juga bukan penyakit, karena mereka adalah orang normal yang menyadari adanya perbadaan pada dirinya dengan orang lain”. Ibu Maryanti juga menjelaskan bahwa “tidak semua waria itu buruk”. Image buruk yang sudah terlanjur melekat pada diri waria itulah yang membuat ibu Maryani terdorong untuk lebih mengembangkan ponpes ini.
            Kegiatan rutin di ponpes waria Al-Fattah diadakan setiap Malam Senin dan Malam Kamis. Dimana setiap pukul 17.00 mereka datang ke pondok, kemudian dilanjutkan dengan bersholawat nariah bersama, Sholat Maghrib berjamaah, membaca Al-Fatihah sebanyak 100 kali, Sholat Isya berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan belajar membaca Al-Quran dan belajar Sholat bagi mereka yang belum bisa. Kegiatan ibadah mereka pun tidak hanya sampai disitu saja, karena pukul 21.00 mereka harus Sholat Hajat, pukul 02.00 Sholat Tahajud, pukul 04.00 Sholat Subuh, dan diakhiri dengan Sholat Fajar, setelah semuanya selesai barulah mereka pulang ke rumah atau kos mereka masing-masing. Dalam hal beribadah, waria di ponpes ini ada yang menggunakan mukena, ada juga yang menggunakan sarung. Hal itu terserah mereka masing-masing, asalkan bagi mereka yang sudah memilih untuk memakai sarung maka mereka tidak boleh  memakai mukena, dan sebaliknya.
            Di ponpes waria Al- Fattah ternyata tidak hanya terdapat waria dari Yogyakarta saja, melainkan banyak waria yang berasal dari berbagai wilayah, misalnya dari Medan, Bandung, Padang, Surabaya, dan sebagainya. Dan kehidupan mereka pun ternyata tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain. Misalnya, banyak waria disini yang sudah memiliki pasangan hidup. Seperti Novi, ia adalah salah satu waria yang berasal dari Surabaya, dan kini ia telah 12 tahun menjalani hidupnya bersama sang suami. Begitu juga dengan Irma, ia adalah salah satu waria yang bekerja sebagai penjual ayam goreng, ia pun sudah mempunyai pasangan hidup.
            Sebagian besar waria di ponpes Al-Fattah telah merasakan kejanggalan dalam dirinya sejak ia kecil. Seperti halnya yang dirasakan Irma, ia dilahirkan sebagai seorang laki-laki, namun ternyata ia mempunyai jiwa dan perasaan seorang perempuan. Dan ia menyadari hal ini sejak ia TK. Hal serupa juga dirasakan oleh Novi, tapi ia baru berani memutuskan bahwa dirinya adalah seorang waria setelah ia duduk di bangku SMA. Dan Ibu Maryani sebagai pengasuh ponpes ini pun mengalami hal yang sama dengan Irma dan Novi. Beliau dilahirkan sebagai seorang laki-laki, namun dengan berjalannya waktu, ternyata beliau tidak bisa menjalankan perannya sebagai laki-laki, kemudia beliaupun memutuskan untuk menjadi waria. Kini Ibu Maryani, mempunyai seorang anak yang diadopsi sejak anak tersebut berusia 1 jam. Beliaupun menegaskan “ Laki-laki mana yang bisa mengurus anak sejak usia 1 jam? Hanya jiwa seorang wanitalah yang bisa menyayangi dan mengasuhnya, karena menurut beliau mengasuh anak kecil tidaklah mudah”.       
            Waria merupakan manusia biasa yang mempunyai kedudukan sama dalam masyarakat, dan jika ada kesempatan bagi mereka untuk menduduki kursi pemerintahan, pastilah diantara kaum yang marginal ini ada yang mampu untuk menduduki kursi tersebut, karena ada banyak waria yang berpendidikan tinggi. Jadi janganlah kita memandang sebelah mata mengenai waria yang ada di seitar kita, karena waria bukanlah pilihan, tapi waria merupakan kodrat yang sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.(Rimawati)

WARIA BUKANLAH PILIHAN, TAPI TAKDIR. WARIA JUGA BUKAN PENYAKIT, KARENA DIA MENYADARI ADANYA PERBEDAAN PADA DIRINYA DENGAN ORANG LAIN.