Jumat, 19 Juli 2013

INFO CALL FOR PAPER DILOGI 2013




A. Latar Belakang
Pemberitaan mengenai pelaksanaan wajib militer di Indonesia atau wamil saat ini santer diberitakan dalam media nasional. Draff mengenai RUU Komponen Cadangan Pertahanan Nasional pun telah dibicarakan dan sedang diperdebatkan oleh komisi 1 DPR. Wacana Wajib militer sendiri telah banyak dan banyak di bicarakan di Negeri ini. Namun untuk pelaksanaannya belum pernah dilakukan. Wajib militer adalah kewajiban bagi seseorang warga Negara yan berusia antara 18 – 27 tahun untuk menyandang senjata, menjadi anggota tentara dan mengikuti pendidikan guna meningkatkan ketangguhan kedisiplinan warga negaranya
Dalam penerapannya berbagai Negara telah memberikan criteria tersendiri dalam pelaksanaan wajib militer bagi para warganya. Wajib Militer diwajibkan kepada warga negara pria, sedangkan warga negara wanita tidak diharuskan wajib militer. Akan tetapi, terdapat beberapa negara yang mewajibkannya untuk warga negara wanita, seperti di Israel, Korea Selatan, dan Suriname. Selain itu, mahasiswa pun biasanya tidak perlu/ tidak diwajibkan wajib militer. Di Negara Indonesia sendiri di dalam rancangan Undang-Undang hanya tertuliskan bahwa hanya PNS, buruh, dan mantan militer saja yang wajib menjalai wajib militer . Akan tetapi kebijakan wajib militer ini pun diperuntukkan untuk masyarakat luas warga Indonesia dan di dalam draf disebut pula kebijakan wajib militer bersifat sukarela selama telah memenuhi syarat yang disebutkan dalam Undang-Undang.
Wacana yang muncul mengenai kebijakan wajib militer yang akan diterapkan di Indonesia ini, telah menjadi sebuah pemikiran tersendiri bagi masyarakat Indonesia, yang terwujjud dalam banyaknya tanggapan yang muncul dari berbagai pihak. Wacana wajib militer di Indonesia saat jika kita telaah dari beberapa perspektif bidang kehidupan seperti pendidikan, sosio-kultural, dan politik-ekonomi maka kita akan mengetahui dampak serta urgensi mengenai penerapan wajib militer yang akan dilaksanakan di Indonesia.


Sehubungan dengan adanya wacana mengenai kebijakan wajib militer yang akan diselenggarakan di Indonesia, Jurusan Pendidikan Sosiologi FIS UNY mengadakn Seminar Nasional dengan tema “Wacana Kebijakan Wajib Militer di Indonesia”


B. File - File Yang Perlu Di Download

1. Panduan Penulisan
Download

2. Contoh Abstrak
    Download

3. Form Identitas Peserta
   Download
Bila ingin mendownload file, harap tanda centang dihilangkan, seperti gambar dibawah ini




C. Rekening
     BNI 0265668078 a.n. Deri Randani

D. Tanggal Penting

  1. Batas akhir penyerahan abstrak, ( 11 September 2013 )
  2. Pemberitahuan diterima, ( 14 September 2013 )
  3. Batas akhir penyerahan full paper, ( 19 September 2013 )

 

Senin, 17 Juni 2013

Ibnu Khaldun dan Ashobiyah


Ibnu Khaldun dan Ashobiyah
Seorang sarjana sosiologi dari Italia, Gumplowiez melalui penelitiannya yang cukup panjang, berpendapat, ”Kami ingin membuktikan bahwa sebelum Auguste Comte (1798-1857 M) dan Giovani Vico (1668-1744 M) telah datang seorang muslim yang tunduk pada ajaran agamanya. Dia telah mempelajari gejala-gejala sosial dengan akalnya yang cemerlang. Apa yang ditulisnya itulah yang kini disebut sosiologi.” Dia-lah Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan muslim yang lebih dekat pemikirannya dengan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi, telah memiliki bebarapa karya, dan salah satunya adalah buku yang berjudul “Muqaddimah”. Buku ini cukup banyak memberikan dasar bagi lahirnya disiplin sosiologi. Manusia, menurut Khaldun (dalam bukunya Muqaddimah), pada dasarnya diciptakan sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan mayarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan. Sebagai makhluk sosial, manusia memliki rasa solidaritas dengan kelompoknya. Solidaritas atau kohesi sosial ini yang disebut ashobiyah oleh Khaldun. Konsep ashobiyah ini juga sangat relevan dengan perubahan sosial masyarakat pada masa kini. Khaldun mamandang bahwa kohesi sosial atau ashobiyah masyarakat tradisional dan primitif atau Khaldun menyebutnya masyarakat Badui lebih kuat daripada masyarakat kota. Kondisi fisik tempat masyarakat Badui tinggal turut mempengaruhi kehidupan beragama mereka. Mayarakat Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang Kota dan hidup dengan meningglakan makanan yang mewah, memiliki tingkat ketakwaan yang lebih dibandingkan masyarakat Kota. Mereka juga lebih berani daripada penduduk kota karena penduduk Kota malas dan suka yang mudah-mudah serta larut dalam kenikmatan wal kemewahan. Hal ini yang menjadikan masyarakat Badui memiliki solidaritas sosial yang sanga kuat, sementara kehidupan masyarakat kota yang lebih bersifat individualis berdampak pada lemahnya ikatan solidaritas sosial mereka. Namun, seiring berjalannya waktu kelompok Badui yang hidup serba terbatas, sederhana, tidak banyak menikmati kemewahan dan kesenagan menyebabkan mereka terdorong untuk memperbaiki hidup mereka dengan melakukan urbanisasi serta ekspansi ke masyarakat kota. Dengan solidaritas yang kuat, masyarakat Badui mampu mengalahkan dan menyingkirkan masyarakat Kota yang solidaritas sosialnya lemah. Orang Badui kemudian menjadi masyarakat kota yang hidup serba nikmat dan mewah yang menyebabkan mereka lupa akan pentingnya solidaritas sosial dan lebih bersifat idividualis. Akhirnya, orang-orang Badui yang sudah menjadi masyarakat Kota inipun bernasib sama seperti masyarakat Kota yang sebelumnya berhasil mereka taklukan. Perubahan sosial seperti inilah yang kini sering dialami masyarakat Indonesia. Ketika orang-orang desa yang memiliki tingkat ashobiyah kuat berpindah ke kota yang notabene tingkat ashobiyah-nya lemah, mereka (masyarakat desa) akan cenderung berubah menjadi lebih individualis dan mengabaikan solidaritas sosial yang sebelumnya mereka miliki secara kuat.

Mahasiswa Dilogi







KUNJUNGAN KE KAMPUS IJO ROYO-ROYO


KUNJUNGAN KE KAMPUS IJO ROYO-ROYO

Kamis 28 Maret 2013 keluarga Hima Dilogi UNY mengadakan kunjungan ke universitas sebelas maret solo. Rombongan berangkat pukul 08.00 WIB menggunakan bus kemudian sekitar pukul 10.00 WIB sampai di UNS.  Rombongan didampingi oleh Bapak Grendi Hendratomo, M.M., M.A. dan Bapak Amika.  Setiba di UNS sambutan hangat diberikan kepada rombongan hima dilogi salah satunya dengan penampilan kenistan yaitu grup vokal dari hima sosioantro uns. Acara pertama ialah sambutan dari Libriana Candra Dewi selaku ketua hima dilogi, Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi UNY Bapak Grendi Hendrastomo, M.M., M.A., ketua hima pendidikan sosio antro Alan, dan ketua prodi pend sosio antro Bapak Karno. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pengenalan prodi pendidikan sosiologi antropologi dari Bapak Karno mengenai sistem perkuliahan di prodi tersebut. Hal yang menjadi perbedaan antara Pendidikan Sosiologi UNY dengan Pendidikan Sosiologi antropologi UNS ialah sistem ujian dari Pendidikan Sosioantropologi UNS  yang melakukan uji kompetensi setiap 4 pertemuan sekali juga mengenai pertemuan tatap muka di kelas sebanyak 20 pertemuan. Sedangkan UNY sendiri menggunakan sistem Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester, pertemuan tatap muka juga sebanyak 16 pertemuan.
Tak hanya itu acara dilanjutkan dengan tanya jawab antar hima dilogi UNY dengan pend sosio antro. Tanya jawab itupun memunculkan usulan kerjasama yang lebih lanjut salah satunya LCCS (Lomba Cerdas Cermat Sosiologi). Acara di dalam ruangan diakhiri dengan penampilan dari kedua belah pihak. UNY dengan penampilan saudari Desi Kristianingsih dan kawan-kawan yang menyanyikan lagu begitu indah. Sedangkan UNS dengan Kenistan lagu Pencuri hati dan Pasti Bisa yang dinyanyikan bersama oleh seluruh audiens di ruang pertemuan.
Acara di luar ruangan yaitu pengenalan kampus FKIP UNS. Hal berbeda pun ditemui yaitu adanya tempat peribadatan berbagai agama di Indonesia yaitu gereja, vihara, pure, dan masjid yang memang ada dalam 1 wilayah. Acara diakhiri dengan foto bersama antar organisasi dan jabat tangan sebagai awal pertemuan hima dilogi uny dengan hima pend Sosio Antro UNS.

Gemerlapnya Dunia Sarkem












Pasar Kembang merupakan sebuah nama yang mungkin sudah cukup familiar bagi masyarakat Yogyakarta bahkan Masyarakat Indonesia dan dunia. Ya, tentu saja karena Pasar kembang yang juga sering disebut Sarkem adalah sebuah nama jalan yang dikenal sebagai areal prostitusi di Kota Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan nama Sarkem yang atau ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang.
Sarkem sebagai lokasi prostitusi di Yogyakarta telah ada sejak sekitar 125 tahun yang lalu. Oleh karena itu tentu saja lokasi ini memiliki nilai historis yang juga memperkaya sejarah di Kota Yogyakarta. Sesuai dengan sejarah yang beredar di kalangan masyarakat Yogyakarta, Sarkem telah ada sejak Tahun 1818, hal tersebut berarti kegiatan prostitusi ini telah ada sejak Jaman Belanda. Tentu saja karena area ini memang sengaja dirancang untuk lokasi “jajan” para pekerja. Ketika itu sedang berlangsung proyek pembangunan rel kereta api yang akan menghubungkan Yogyakarta dengan kota-kota lainnya. Dengan harapan pemerintah Belanda agar para pekerja proyek tersebut menghabiskan uang gajinya agar kembali menjadi pemasukan Pemerintah belanda, maka di bangunlah Pasar kembang sebagai sarana prostitusi agar gaji pekerja dapat dibelanjakan disana.
Seiring perkembangan jaman, lokasi tersebut seakan dipetakan menjadi kawasan prostitusi di Yogyakarta. Sebenarnya setelah jaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah berupaya memberikan penyuluhan terhadap “pekerja” di pasar kembang agar menghentikan kegiatannya. Namun disadari maupun tidak, keberadaan Pasar kembang telah membawa dampak ekonomi dari sistem mata pencaharian warga disekitarnya, sehingga upaya penutupan tersebut menjadi sulit direalisasikan. Bagaimana tidak, dengan adanya kawasan pasar kembang tersebut juga dimanfaatkan warga sekitar untuk membuka hotel, rumah makan, warung sebagai penunjang kehidupan mereka. Hal tersebut diperkuat lokasinya yang dekat dengan pusat Kota Yogyakarta terutama di kawasan Malioboro yang menjadi daya tarik wisata di Yogyakarta.
Meskipun demikian terkenalnya Pasar Kembang sebagai kawasan prostitusi di Kota Yogyakarta, namun pemerintah Kota saat ini dalam hal ini Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak mengharapkan apabila Lokasi Pasar kembang diangkat sebagai kawasan wisata prostitusi. Beliau lebih menghendaki kawasan ini lebih diangkat sebagai kawasan wisata yang menyediakan oleh-oleh serta kesenian dan budaya khas Yogyakarta. Hal tersebut tentu saja sangat beralasan karena tidak ingin mengangkat citra Kota Yogyakarta menjadi Kota yang buruk. Wisatawan Yogyakarta kadang memang dianjurkan untuk mengunjungi lokasi ini, namun diharapkan dengan kunjungan tersebut para wisatawan dapat mendapat pengalaman dari sisi historis bukan dari segi prostitusinya.